Pantai Selatan Garut part III (Santolo, Sahyang Heulang & Back to Bandung)

Kamis, 03 Maret 2011

Bersama semilir angin sore dan anggunnya deburan ombak, saya menginjakkan kaki di pasir Pantai Santolo yang lembut. Sore itu suasana pantai begitu tenang dan sepi, suasana seperti itulah yang saya harapkan. Garis pantai yang melengkung elok dengan hamparan pasir putih kecoklatan yang indah, mempesona mata saya. Deburan ombak yang mengalun tenang serasa menggoda saya untuk bergumul dengannya. 

Letak Pantai Santolo tepatnya berada di Kecamatan Cikelet, Garut Selatan sebelah barat kota Kecamatan Pameungpeuk. Banyak orang yang menganggap kalau Santolo berada di Kecamatan Pameungpeuk, padahal sebenarnya pantai ini masuk dalam wilayah Kecamatan Cikelet. Kalau tidak percaya, buka saja website pemerintah Garut. Nama Santolo, sebenarnya adalah nama sebuah pulau kecil di sisi sebelah timur dari pantai ini yang di pisahkan oleh aliran sebuah sungai. Ditandai dengan adanya batu karang besar yang teronggok sendirian di bibir pantai sebelah timur yang bisa kita lihat dengan jelas. Muara sungai ini lah yang di gunakan para nelayan setempat sebagai pintu keluar masuk menuju dermaga maupun menuju lautan luas. Kita bisa menyebrang ke Pulau Santolo dengan menggunakan jasa perahu nelayan. Bagi yang jago berenang bisa juga dengan berenang menyebrangi muara sungai ini. 

Bisa dibilang Pantai Santolo merupakan pantai yang paling rame atau sering dikunjungi daripada pantai-pantai lainnya di Garut. Sehingga fasilitas disini lebih lengkap, dari penginapan, rumah makan sea food dan toko cinderamata ada di pantai ini. Tapi jangan berharap dapat menemukan penginapan yang mewah sekelas hotel disini.  Kisaran harga untuk penginapan cukup murah meriah antara 50rb sampai 100rb per malam, dengan bangunan yang bisa dibilang sederhana. Untuk rombongan, tersedia juga bungalow dengan kisaran harga antara 200rb sampai 300rb per malam. Saya sarankan untuk mencari penginapan yang persis di pinggi pantai, sehingga dalam tidur kita bisa menikmati alunan suara deburan ombak mengiringi kita menuju alam mimpi. 

Pada waktu saya datang suasana pantai benar-benar sepi, mungkin karena saya datang bukan di hari libur atau weekend. Tidak terlihat satu orang pun yang bermain-main atau mandi di pantai. Cuma terlihat sepasang muda-mudi lagi asyik ngobrol di atas motor di pinggir jalan. Beberapa warung makan juga terlihat tutup. Saya beruntung datang di pantai ini dalam keadaan sepi, sehingga saya dan teman-teman bisa menikmati keindahan pantai ini dengan bebas serasa pantai milik pribadi. Kami duduk santai di sebuah balai-balai disamping sebuah warung yang tutup, disebelahnya terparkir dua motor kami bersanding dengan empat buah perahu nelayan yang tersandar dengan tenang di tempatnya. Tidak lupa saya mengabadikan pemandangan indah yang tersaji di depan kami melalui kamera hp saya.

Sekitar jam 15.30, deburan ombak seakan memanggil kami untuk bergabung. Dengan debur ombak yang tidak terlalu besar dan angin bertiup semilir sepoi-sepoi di payungi langit biru yang cerah, ini lah waktu yang pas untuk terjun menikmati deburan ombak Pantai Santolo. Kami pun sudah tak tahan dengan godaannya. Akhirnya kostum kami preteli satu-satu, menyisakan celana kolor pendek dan langsung berlari menyongsong datangnya deburan ombak pantai selatan. Terdengar suara teriakan-teriakan kegembiraan dan juga suara ketawa ketiwi dari teman-teman ketika badan kami beradu dengan debur ombak dan saya pun melakukan hal yang serupa. 

Setelah kami menceburkan diri, ternyata pantai ini landai dengan pasir halus di bawah telapak kaki kami. Sehingga kami tidak takut untuk berjalan agak menjorok beberapa meter dari bibir pantai ke laut tapi juga harus dengan hati-hati. Terkadang kaki kami tergores pecahan kecil batu karang yang terasa lumayan sakit saat bermain-main dengan ombak. Tapi rasa perih akibat tergores karang tidak menyurutkan saya untuk terus berenang dan bermain menikmatinya. Setelah beberapa menit kami berenang, terlihat beberapa anak kecil dengan tampil polos tanpa baju dan celana ikut mandi dan bermain-main, kira-kira umur mereka 6-7 tahunan. Tapi tempat mereka mandi agak jauhan sekitar 50 meteran dari kami.

Pantainya benar-benar cocok sekali untuk berenang karena konturnya yang landai dengan pasir halus di bawahnya. Rasanya pengen berlama-lama untuk menikmatinya, tapi waktu yang tidak mengijinkan karena kami harus segera pulang ke Bandung karena hari sudah beranjak sore. Hanya sekitar setengah jam kami berenang menikmati deburan ombak Pantai Santolo. Setelah capek berenang kami beristirahat di balai-balai tempat kami menaruh tas dan baju. Masalah muncul ketika kami ingin ganti baju dan membersihkan tubuh kami dari pasir pantai yang menempel, kami tidak tahu dimana kamar mandi umum berada. Karena malas mencari akhirnya kami membersihkan tubuh kami dengan air laut walaupun terasa lengket di badan tapi yang penting bisa untuk membersihkan pasir-pasir yang menempel. 

Sekitar setengah jam kami habiskan untuk istirahat, setelah puas foto-foto narsis saya putuskan untuk segera pulang karena saya melihat awan di atas pegunungan sebelah utara sudah menghitam, sepertinya akan segera turun hujan. Karena perjalanan pulang kami nanti harus melalui jajaran pegunungan tersebut. Jam 16.30, kami meninggalkan Pantai Santolo menuju Bandung tapi kami akan mampir sebentar di Pantai Sahyang Heulang yang letaknya tidak jauh dari Santolo.

Saya meninggalkan Santolo dengan perasaan senang dan puas, selain karena telah menepati janji saya untuk menginjakkan kaki di pantai yang indah ini, saya juga bisa menikmati keindahannya secara langsung yang sebelumnya hanya bisa melihat foto-fotonya di internet. Tapi dengan segala keindahan yang ditawarkan, sayangnya pantai ini terkesan belum mendapat perhatian secara serius dari pemerintah daerah padahal potensinya besar sekali jika dikembangkan secara serius. Kebersihan menjadi masalah utama, masih banyak terlihat sampah-sampah plastik, daun-daun kering, batok kelapa dan juga ranting-ranting pohon berserakan di pinggir pantai. Jika semuanya dibersihkan secara rutin bahkan kalo bisa tiap hari, akan membuat pantai ini terlihat lebih indah lagi sehingga bisa menarik wisatawan lebih banyak untuk datang ke pantai ini. 

Setelah melewati gerbang masuk Pantai Santolo kami belok kanan di pertigaan menuju ke arah Pameungpeuk. Sekitar 2-3 menit kami melihat papan besar dikanan jalan bertuliskan Pantai Sahyang Heulang, tanpa ragu lagi kami langsung belok kanan menuju Sahyang Heulang melewati gerbang masuk. Dari gerbang masuk masih 1 Km lagi menuju pantai dengan jalan separuh bagus separuh jelek. Mendekati pantai kami melihat bangunan kecil bercat kuning di pinggir jalan yang sepertinya loket karcis masuk, kami dengan santai melewatinya karena loketnya kosong ga ada orang. Terlihat juga deretan bangunan peninapan di pantai ini dengan bentuk bangunan yang sederhana.

Kami langsung memarkir motor di dekat rimbunan pandan laut karena tidak ada tempat parkir khusus disini jadi bebas mau parkir dimana saja. Setelah menerobos rimbunan pandan laut, pemandangan pantai dapat kita lihat dengan leluasa. Ternyata pantai ini persis berada di sebelah timur Pulau Santolo. Sehingga warna pasirnya pun masih identik yaitu putih kecoklatan. Lokasi pantai ini tepatnya berada di Desa Mancagahar, Kecamatan Pameungpeuk Garut Selatan. 

Pemandangan yang tersaji sangat berbeda sekali dengan Pantai Santolo. Pantai ini memiliki keunikan yaitu adanya karang yang bentuknya datar seperti teras yang seolah-olah memisahkan antara pasir pantai dengan deburan ombak. Dengan adanya teras karang ini maka debur ombak akan tertahan oleh teras sehingga tidak langsung beradu dengan pasir pantai. Kita bisa berjalan-jalan diatasnya karena teras karang ini sangat luas dengan kedalaman air hanya semata kaki. Kita juga bisa melihat ikan-ikan kecil yang terperangkap di lubang-lubang kecil karang. Kondisi pantainya sama dengan Santolo yaitu kurang bersih, banyak terdapat material sampah terlihat disana-sini. 

Kami hanya sebentar menikmati Pantai Sahyang Heulang, kurang lebih 15 menit. Setelah puas foto-foto kami meninggalkan pantai ini, selain hari semakin sore kami juga takut kalau turun hujan karena saya tidak membawa jas hujan. Sampai gerbang masuk Pantai Sahyang Heulang kami belok kanan ke arah Pameungpeuk. Setelah melewati persawahan dan rumah penduduk dengan kondisi jalan yang beraspal mulus sampai lah kita di kota Kecamatan Pameungpeuk. Berhenti sebentar menunggu si aryo yang lagi ngisi bensin di pom, ternyata sudah ada spbu juga disini. Memasuki kota ternyata suasananya rame juga, menurut saya inilah kota kecamatan paling rame di daerah Garut selatan. Sampai di pasar, di sebuah pertigaan saya berhenti sebentar membaca sebuah papan petunjuk arah bertuliskan “Pantai Cijeruk Indah, Pantai Sancang”. Kami tidak berniat untuk mengunjunginya karena hari sudah sore. 

Tiba-tiba apa yang kami takutkan datang juga, rintik air hujan mulai turun. Langsung saja tanpa pikir panjang kami tancap gas menuju Bandung, saat itu sekitar jam 17.00. Ternyata hujan bertambah deras setelah meninggalkan kota Pameungpeuk, akhirnya kami putuskan untuk berteduh di sebuah pos kamling. Setelah beberapa menit hujan agak reda, kami lanjutkan lagi perjalanan. Belum ada 3 Km kami jalan ujan kembali deras, terpaksa berteduh lagi disebuah warung. Karena dirasa hujan akan lama berhenti, kami memutuskan untuk menerjang hujan, menanggung resiko basah kuyup ditambah kedinginan. Benar saja hujan ga mau reda juga, walaupun ga begitu deras tapi sudah membuat jaket dan celana saya basah. 

Malam mulai datang saat kami mulai memasuki daerah hutan sesekali melewati perkampungan dan air masih terus menghujani kami dengan derasnya, ditambah kondisi jalan yang banyak lubang disana-sini dan berkelok-kelok. Karena hujan turun dengan derasnya membuat lubang-lubang tertutup oleh air sehingga menyulitkan saya untuk membedakan antara lubang dengan genangan air, sehingga motor saya sering kali menghantam lubang dengan kerasnya. Jaket dan celana sudah basah kuyup. Kabut juga membuat penglihatan kita menjadi berkurang. Sempat berhenti sebentar disebuah masjid untuk buang air kecil, badan sudah menggigil kedinginan. Dari sini saya meminta si Nunu untuk gantian di depan karena mata saya sudah tidak awas lagi untuk melihat.

Setelah perjalanan dilanjutkan hujan malah semakin deras dengan kabut yang semakin pekat parah, bahkan jarak pandang hanya beberapa meter saja. Mungkin hanya sekita 4-5 meteran. Kondisi jalan semakin parah, lubang bertebaran dimana-mana dan berkelok-kelok ga habis-habis, dengan sebelah kanan-kiri jalan punggung bukit disertai hutan bahkan jurang menganga yang siap memakan kami kalau tidak hati-hati, kami juga takut kalau tiba-tiba punggung bukit yang ada di samping kami longsor. Kendaraan yang lewat di dominasi truk dan elf terkadang juga mobil-mobil pribadi, jarang sekali kami berpapasan dengan motor. Benar-benar perjalanan yang butuh perjuangan.

Sekitar jam 20.00, bensin mulai menipis, untung masih ada penjual bensin eceran yang masih memajang jerigen-jerigen bensin di depan rumah. Setelah motor terisi perjalanan dilanjutkan, dengan hujan yang sudah lumayan mereda. Kami mulai meninggalkan area hutan Gunung Gelap, itu tandanya kota kecamatan Cikajang sudah tidak jauh lagi dan jalan akan berganti dengan aspal mulus. Benar saja setelah memasuki sebuah desa jalan yang tadi jelek tiba-tiba menjadi mulus, kami langsung menggeber motor kami dengan kencang. Walaupun dengan kabut yang masih menyelimuti. Motor kami berkelok-kelok melewati jalanan perkebunan teh yang benar-benar mulus, tapi sayang kami tidak bisa menikmati keindahan perkebunan teh ini padahal kalau hari masih terang luar biasa indahnya. 

Sekitar jam 21.00, kami sampai di daerah Cisurupan. Si Aryo mengajak untuk mencari warung kopi untuk beristirahat sebentar. Akhirnya kami menemukan sebuah warung kopi tepatnya di tikungan selepas Pasar Cisurupan, sebelah kanan jalan. Kami beristirahat dengan kondisi baju basah kuyup dan menggigil kedinginan. Kami masing-masing memesan segelas kopi panas dan semangkuk mie instan rebus + telor, lumayan buat mengisi perut yang sudah laper. Setelah kenyang dan merasa cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini saya mengambil alih kemudi, ternyata si Aryo membawa jas hujan tapi model baju. Dia menawari saya untuk di bagi dua jas hujannya. Akhirnya saya memilih untuk memakai baju, sedangkan dia memakai bagian celana. 

Kami memasuki Kota Garut sekitar jam 22.00. ternyata hujan benar-benar rata. Sampai sini hujan sudah mulai reda hanya tinggal gerimis-gerimis. Pake jas hujan lumayan juga ternyata bisa menahan dinginnya angin, untung saya memilih yang baju bukan celana. Sampai di daerah Kadungora hujan sudah benar-benar berhenti, saya terus tancap gas karena saya sudah capek dan badan sudah terasa ga enak, ingin segera sampai Bandung. Sampai di daerah Rancaekek sekitar jam 23.00, saya dibuat kesal oleh kemancetan. Kami sampai di daerah itu bertepatan dengan jam bubaran karyawan pabrik, sehingga jalanan tersendat. Setelah bersabar beberapa menit akhirnya saya lolos juga dari kemancetan.

Akhirnya saya sampai kost sekitar jam 23.45, Aryo sampai belakangan. Lega sekali rasanya, akhirnya sampai di kost juga dengan selamat setelah menempuh perjalanan yang penuh perjuangan menerobos hujan dan kabut melewati hutan dan melawan dinginnya angin malam. Ditambah saya belum tidur sama sekali dari kemaren. Sudah tidak sabar tubuh saya bisa berbaring di kasur empuk kostan. Badan saya terasa remuk redam ditambah meriang seluruh badan. Tapi bagaimanapun keadaan saya selepas perjalanan ini, saya tetap merasa senang dan puas bisa menikmati keindahan alam di Garut selatan yang benar-benar mempesona. Sehingga saya bisa membuktikan bahwa apa yang saya baca dan saya lihat di internet tentang keindahan alam di Garut selatan, memang kenyataannya begitu, benar-benar asri dan indah dan saya berharap bisa memiliki kesempatan untuk dapat mengunjunginya kembali di lain waktu. 







0 komentar:

Most Wanted

Statistics

Ping your blog, website, or RSS feed for Free
Powered By Blogger